Selasa, 12 Oktober 2010

Catatan Lama Yang Terabaikan - Belajar dari Alam (Wasior)

Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP), merupakan suatu kawasan konservasi seluas 22.000 ha terdapat di kawasan Jawa Barat, namun mempunyai dampang penting bagi kehidupan 9.558.198 penduduk di Jakarta. Mengapa? Di gunung inilah berhulu beberapa sungai besar, Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung dan DAS Cisadane. Kawasan ini pula yang mendukung stok perairan yang ada di tiga kawasan administratif, yaitu Bogor, Sukabumi dan Cianjur.

Kalau mau berterus terang, sesungguhnya masyarakat Jakarta sangat tertolong dengan mendapatkan asupan pangan dan sayuran segar dari mulai pasar induk hingga hypermarketnya, kebanyakan dari tiga kabupaten ini. Bagaimanakah jika air dan ekosistem pertanian tidak mendukung di kawasan ini? Jawabannya pasti akansangat merepotkan, harga tanaman pangan akan semakin mahal dan semuanya akan berdampak pada sector ekonomi nasional.

Faktor yang sangat penting –disamping TNGP sebagai stok sumberdaya keanekaragaman hayati– adalah peran kawasan ini sebagai stok sumberdaya air. Walaupun tidak mudah untuk menghitung secara langsung sumberdaya air yang ada di TNGP, namun peran tersebut bias dilihat secara langsung dengan menghitung berapa kapasitas air yang diperlukan oleh sawah, perladangan dan perkebunan serta perumahan penduduk yang ada di sekitar taman nasional tersebut.

Bukankah air merupaan sumber kehidupan? Bila air tidak ada, darimana sawah dan perkebunan di puncak –yang menjadi supplier mayoritas palawija dan tanaman pangan di Jakarta– bias berhasil dengan baik.

Professor Otto Soemarwoto menjelaskan, jika luas hutan berkurang, laju resapan air ke dalam tanah menurun, laju aliran air naik dan bahaya banjir semakin meningkat. Dalam hal ini bertambahnya air karena berkurangnya luas hutan sangatlah merugikan. Laju air akan bertambah jika hutan dikonservasikan menjadi bangunan fisik seperti gedung, jalan raya dan bangunan lainnya.

Sumarwoto memperkirakan laju konversi kawasan Puncak menjadi bangunan dan vila mengakibatkan peningkatan larian volume air dari 5% curah hujan menjadi 40%. Dengan curah hujan 3000 mm/th, kenaikan volume larian air adalah 10.500m3/ha/th yang setara dengan 21.000 truk tangki minyak berkapasitas 5.000 lt. Maka umpama terjadi konversi (penggundulan) vegetasi hutan 10 ha artinya sama dengan melepaskan 21.000 truk air berkapasitas 5.000 lt dari puncak.

Tidak heran, jika puluhan hektar hutan gundul di kawasan Puncak mampu menggerus ratusan rumah dalam hitungan menit seperti terjadi pada tragedi Bahorok, peristiwa bencana kawasan wisata Mojokerto, dan terakhir Wasior.

Dengan adanya tutupan hutan sebanyak 22 ribu hektar di TNGP, secara air tertampung yang disangga oleh gunung ini adalah setara dengan 46,2 juta truk air berkapasitas 5.000 lt. Bila panjang truk tanki rata-rata 10 meter, maka air yang dijajarkan bias berderet sejauh 4.620 km, atau setara dengan empat kali panjang Pulau Jawa. Bagaimana kalau air di seluruh truk itu lepas? Jakarta akan tenggelam.

Maka kawasan hutan Gunung Gede Pangrango tidak dapat disangkal mempunyai jasa besar sebagai kawasan tangkapan air (water catchment) bagi warga sekitarnya termasuk Jakarta. Kawasan ini juga dihitung merupakan jantung bagi 100 ribu hektar kawasan berupa daerah resapan air berupa sawah dan lading disekitarnya. Jantung inilah yang memompa dan mengatur “denyut nadi” sungai-sungai dan lahan basah yang berhulu di gunung itu.

Conservation International menghitung, asset yang dimiliki dengan melestarikan hutan dan Taman Nasional Gede Pangrango mempunyai nilai sekitar 920 miliar rupiah (100 juta dolar AS) per tahun untuk menghidupi sekitar 20 juta penduduk yanga da disekitarnya. Kalau tangkapan air ini musnah, akibatnya beberapa pabrik air mineral yang mengolah air bersih tidak lagi akan berproduksi dan semua penduduk akan kekeringan bila musim kemarau tiba.

Studi tentang TNGP juga dilakukan Natural Resources Management (NRM). Menurut lembaga ini, telah terjadi konversi lahan yang terus berlangsung di kawasan Puncak, baik untuk pertanian menjadi kawasan hunian atau pembangunan industru yang mengutamakan keuntungan ekonomi. Maka dampak konversi tersebut adalah erosi yang terjadi di kawasan aliran sungai. Sehinga pernah dicatat, di kawasan ini, rata-rata erosi per hektar mengakibatkan sedimentasi 24.925 ton. Perlu dicatat, air yang mengalir dari TNGP merupakan salah satu sumber aliran air sepanjang 117 km yang bermuara pada Sungai Ciliwung di Jakarta, jika erosi tersebut terus-menerus mengakibatkan pendangkalan dan mengganggu daerah aliran sungai sehingga apabila terjadi curah hujan di atas rata-rata, maka cakupan banjir akan lebih meluas.

Dampak positif keberadaan TNGP seperti tangkapan air, kontrol sedimentasi, mengurangi polusi, pengembangan wisata dan pelayanan lainnya –mengilustrasikan betapa pentingnya kawasan ini bagi masyarakat, hingga yang berada di Jakarta sekalipun. Oleh sebab itu, apa saja rencana yang dilakukan dan diperkirakan mempunyai dampak besar di kawasan puncak terutama TNGP, harus menjadi pertimbangan yang matang.

  1. Professor Otto Soemarwoto, http://id.wikipedia.org/wiki/Otto_Soemarwoto
  2. Conservation International, http://id.wikipedia.org/wiki/Conservation_International
  3. TNGP, http://id.wikipedia.org/wiki/Taman_Nasional_Gunung_Gede_Pangrango
  4. Sungai Ciliwung, http://id.wikipedia.org/wiki/Sungai_Ciliwung
  5. Banjir Wasior, http://id.wikipedia.org/wiki/Banjir_Wasior_2010

Read more...

Selasa, 18 Maret 2008

Indonesia Berpesta, Singapura Panen Raya


"Fliegen Sie nach Singapur, dem Tor zu Indonesien." "Terbanglah ke Singapura, pintu gerbang Indonesia."


Slogan yang terlahir dari kolaborasi Singapore Airlines dan Silk Air itu mendengung di arena International Tourism Bourse (ITB), Berlin, Jerman, Rabu hingga Ahad pekan lalu. Singapura rupanya mencoba mengambil untung, ketika maskapai Indonesia masih diblokir masuk Eropa.

Meski ada kendala angkutan udara, toh delegasi Indonesia tak menyia-nyiakan kesempatan berpromosi di bursa pariwisata paling bergengsi sedunia itu. Maklum, event yang digelar rutin tiap tahun sejak 1966 itu diikuti 11.147 peserta dari 186 negara, menempati 26 hall.

Delegasi Indonesia terdiri dari pemain industri pariwisata yang diwakili 65 biro perjalanan pariwisata, hotel, spa, dan resor, plus lima pemerintah daerah, yaitu Provinsi Bali, Jawa Timur, Jawa Tengah, Kabupaten Lombok, dan Jayapura. Rombongan dipimpin oleh pejabat Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Untuk menarik perhatian pengunjung, tim Indonesia mengusung replika ikon pariwisata Bali, Garuda Wisnu Kencana.

Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Jero Wacik, yang dijadwalkan datang dan memimpin delegasi, ternyata urung hadir. Tentu ini membuat kecewa para wartawan asing dari media televisi, radio, dan media cetak yang telah menjadwalkan wawancara. Dalam temu pers yang digelar Kamis pekan lalu, delegasi Indonesia diwakili Duta Besar RI untuk Republik Federal Jerman, Makmur Widodo, dan ketua delegasi Indonesia dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Thamrin B. Bachri.

Di samping mereka, duduk Casey Ow Yong, General Manager Singapore Airlines Wilayah Jerman, Austria, Eropa Tengah dan Timur. Casey mengungkapkan bahwa Singapore Airlines berusaha membantu dalam membawa turis-turis Eropa ke Indonesia. Ia mengakui, sejak tahun lalu ada peningkatan penumpang dari pintu Frankfurt ke Jakarta lewat Singapura sebesar 5%.

Namun bukan berarti Singapore Airlines menambah frekuensi mereka ke Indonesia. "Sejauh ini, kami belum memiliki rencana meningkatkan jumlah penerbangan ke Indonesia," kata Casey. Menurut dia, penerbangan Singapura-Jakarta sebanyak delapan kali sehari merupakan frekuensi penerbangan tertinggi dari total jalur yang dilalui maskapai milik negeri berlambang singa itu.

Casey menandaskan, selama ini Indonesia dan Singapura merupakan partner strategis. Apalagi, Singapore Airlines dan Silk Air memiliki destinasi penerbangan di sembilan kota Indonesia. Selain Bali dan Jakarta, mereka juga melayani penerbangan ke Solo, Surabaya, Balikpapan, Medan, Palembang, dan Manado. Dalam mempromosikan Bali sebagai tujuan wisata, Singapore Airlines mengeluarkan privilege boarding pass untuk destinasi Bali.

Begitulah. Di tengah gebyar pesta bertajuk "Visit Indonesia Year" dan larangan terbang di Eropa bagi maskapai penerbangan Indonesia, Singapura yang panen raya. Tak mengherankan bila akhirnya lahir slogan tersebut.

Menurut Makmur Widodo, kunjungan Menteri Luar Negeri Jerman Frank Walter Steinmeier ke Jakarta, bulan lalu, mengembuskan angin segar. "Beliau mengajukan tawaran pada Pemerintah Indonesia untuk membantu Garuda dalam upaya melepaskan larangan terbang ke Eropa," ungkap Makmur.

Campur tangan Menteri Luar Negeri Jerman itu "memaksa" Lufthansa memberikan bantuan teknis kepada Garuda Indonesia Airways. "Bila ini menjadi kenyataan, maka cepat atau lambat larangan tersebut akan dicabut," ujar Makmur. Diakuinya, penerapan larangan terbang bagi maskapai Indonesia yang diberlakukan sejak Juli 2007 itu menjadi "handycap" Indonesia dalam mengembangkan berbagai sektor, utamanya sektor pariwisata.

Thamrin mengungkapkan, "embargo penerbangan" Uni Eropa itu mengakibatkan Indonesia kehilangan potensi 20% calon wisatawan asal Eropa, dari Eropa Barat hingga Rusia. "Mereka adalah calon wisatawan yang biasanya mengambil round trip di Indonesia," ujarnya.

Tengok negeri jiran Malaysia. Pada 2006, negeri yang baru melaksanakan pemilihan umum itu berhasil menarik 15 juta wisatawan mancanegara (wisman). Jumlah ini melonjak jadi 18 juta wisman pada tahun lalu. Thamrin mengingatkan bahwa pada 2006, sekitar 9,6 juta pengunjung Malaysia berasal dari Singapura dan pelintas batas (cross border). Penduduk Singapura hanya berjumlah 3 juta orang. "Itu artinya, orang Singapura setidaknya tiga kali ke Malaysia dalam setahun," katanya.

Khusus untuk wisatawan asal Jerman, tahun ini Indonesia menargetkan dapat menjaring 159.000 orang. Jumlah ini didongkrak lebih tinggi dari tahun lalu, ketika Indonesia berhasil menarik 116.000 wisatawan asal Jerman. Target Eropa, termasuk Eropa Timur, sebesar 800.000 wisman. Sementara itu, target wisatawan mancanegara tahun ini yang dibebankan pada program Visit Indonesia Year 2008 sebanyak 7 juta orang.

Eropa, khususnya Jerman, memang layak dibidik. Menurut hasil riset yang dikeluarkan Tourism Intelligence International pada Februari 2008, turis asal Jerman menempati peringkat pertama dunia dalam melakukan perjalanan wisata dan berlibur di luar negeri. Turis Amerika menempati peringkat pertama dalam pengeluaran biaya liburan, sedangkan peringkat keduanya ditempati turis asal Jerman. Lembaga riset itu memprediksikan, dalam tujuh tahun ke depan, turis Jerman bisa jadi menempati posisi pertama dalam jumlah pelaku perjalanan wisata.

Sepuluh operator wisata Jerman yang dijadikan sumber riset itu menyebutkan bahwa negara-negara tujuan turis, seperti India, Afrika Selatan, Vietnam, Ekuador, dan Peru, menunjukkan indikasi peningkatan peminat hingga dua digit dalam beberapa tahun terakhir. Indonesia pun ingin ikut menebar jaring.

Namun, Thamrin mengakui, masalah utama pariwisata nasional pada saat ini adalah kurangnya jumlah penerbangan internasional ke Indonesia, terutama dari India dan Eropa. "Paket paket kita jadi tak kompetitif karena tidak ada penerbangan langsung dari Eropa," ujarnya. Sementara itu, sejak diberlakukannya visa on arrival pada 2006, yang sekarang menjadi 63 negara, jumlah turis asal Belanda, India, dan Cina sempat mengalami kenaikan. Turis asal Belanda naik 21,6%, India meningkat 26,1%.

Stan Indonesia terletak di ujung hall 26, berdampingan dengan negara-negara Asia Tenggara, seperti Vietnam, Thailand, Malaysia, dan Singapura. Stan itu terdiri dari meja-meja bulat sebagai fasilitas pertemuan agen perjalanan dan para klien. Ruangan didominasi dekorasi bentuk wayang kulit raksasa, gapura Bali, dan barong.

Di sana-sini tampak logo Visit Indonesia Year 2008. Sayangnya, dekor sarat ikon budaya yang menelan biaya Rp 900 juta ini hanya menempati posisi kelima pada pemilihan stan terbaik wilayah Asia-Oseania di ITB Berlin, tahun ini. Padahal, tahun lalu Indonesia meraih posisi kedua. Untunglah, masih ada replika raksasa Garuda Wisnu Kencana yang didominasi warna hijau dan emas di atas panggung kesenian. Yang menyedihkan, kali ini Garuda tidak benar-benar singgah di Jerman.
Heru Pamuji, dan Miranti Soetjipto-Hirschman n (Berlin) [Ekonomi, Gatra Nomor 18 Beredar Kamis, 13 Maret 2008



Read more...

Rabu, 12 Maret 2008

Buku Menkes Fadillah bikin gerah US-WHO, Menguak Konspirasi Bikin Senjata H5N1

Buku Menteri Kesehatan Siti Fadilah, Menguak Konspirasi Bikin Senjata
Biologi dari Flu Burung



Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari (59) bikin gerah World Health
Organization (WHO) dan Pemerintah Amerika Serikat (AS).
Fadilah berhasil menguak konspirasi AS dan badan kesehatan dunia itu
dalam mengembangkan senjata biologi dari virus flu burung, Avian
influenza (H5N1).
Setelah virus itu menyebar dan menghantui dunia, perusahaan-perusaha
an dari negara maju memproduksi vaksin lalu dijual ke pasaran dengan
harga mahal di negara berkembang, termasuk Indonesia.

Fadilah menuangkannya dalam bukunya berjudul Saatnya Dunia Berubah!
Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung.
Selain dalam edisi Bahasa Indonesia, Siti juga meluncurkan buku yang
sama dalam versi Bahasa Inggris dengan judul It's Time for the World
to Change.
Konspirasi tersebut, kata Fadilah, dilakuakn negara adikuasa dengan
cara mencari kesempatan dalam kesempitan pada penyebaran virus flu
burung.
"Saya mengira mereka mencari keuntungan dari penyebaran flu burung
dengan menjual vaksin ke negara kita," ujar Fadilah kepada Persda
Network di Jakarta, Kamis (21/2).

Situs berita Australia, The Age, mengutip buku Fadilah dengan
mengatakan, Pemerintah AS dan WHO berkonpirasi mengembangkan senjata
biologi dari penyebaran virus avian H5N1 atau flu burung dengan
memproduksi senjata biologi. Karena itu pula, bukunya dalam versi
bahasa Inggris menuai protes dari petinggi WHO.

"Kegerahan itu saya tidak tanggapi. Kalau mereka gerah, monggo mawon.
Betul apa nggak, mari kita buktikan. Kita bukan saja dibikin gerah,
tetapi juga kelaparan dan kemiskinan. Negara-negara maju menidas
kita, lewat WTO, lewat Freeport, dan lain-lain. Coba kalau tidak ada
kita sudah kaya," ujarnya.
Fadilah mengatakan, edisi perdana bukunya dicetak masing-masing 1.000
eksemplar untuk cetakan bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Total
sebanyak 2.000 buku.

"Saat ini banyak yang meminta jadi dalam waktu dekat saya akan
mencetak cetakan kedua dalam jumlah besar. Kalau cetakan pertama
dicetak penerbitan kecil, tapi untuk rencana ini, saya sedang mencari
bicarakan dengan penerbitan besar," katanya.

Selain mencetak ulang bukunya, perempuan kelahiran Solo, 6 November
1950, mengatakan telah menyiapkan buku jilid kedua.
"Saya sedang menulis jilid kedua. Di dalam buku itu akan saya
beberkan semua bagaimana pengalaman saya. Bagaimana saya mengirimkan
58 virus, tetapi saya dikirimkan virus yang sudah berubah dalam
bentuk kelontongan. Virus yang saya kirimkan dari Indonesia diubah-
ubah Pemerintahan George Bush," ujar menteri kesehatan pertama
Indonesia dari kalangan perempuan ini.

Siti enggan berkomentar tentang permintaan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono yang memintanya menarik buku dari peredaran.
"Bukunya sudah habis. Yang versi bahasa Indonesia, sebagian, sekitar
500 buku saya bagi-bagikan gratis, sebagian lagi dijual ditoko buku.
Yang bahasa Inggris dijual," katanya sembari mengatakan, tidak
mungkin lagi menarik buku dari peredaran.

Pemerintah AS dikabarkan menjanjikan imbalan peralatan militer berupa
senjata berat atau tank jika Pemerintah RI bersedia menarik buku
setebal 182 halaman itu. Mengubah Kebijakan Apapun komentar
pemerintah AS dan WHO, Fadilah sudah membikin sejarah dunia.

Gara-gara protesnya terhadap perlakuan diskriminatif soal flu burung,
AS dan WHO sampai-sampai mengubah kebijakan fundamentalnya yang sudah
dipakai selama 50 tahun. Perlawanan Fadilah dimulai sejak korban
tewas flu burung mulai terjadi di Indonesia pada 2005.

Majalah The Economist London menempatkan Fadilah sebagai tokoh
pendobrak yang memulai revolusi dalam menyelamatkan dunia dari dampak
flu burung.
"Menteri Kesehatan Indonesia itu telah memilih senjata yang terbukti
lebih berguna daripada vaksin terbaik dunia saat ini dalam
menanggulangi ancaman virus flu burung, yaitu transparansi, " tulis
The Economist. The Economist, seperti ditulis Asro Kamal Rokan di
Republika, edisi pekan lalu, mengurai, Fadilah mulai curiga saat
Indonesia juga terkena endemik flu burung 2005 silam. 

Ia kelabakan. Obat tamiflu harus ada. Namun aneh, obat tersebut
justru diborong negara-negara kaya yang tak terkena kasus flu burung.
Di tengah upayanya mencari obat flu burung, dengan alasan penentuan
diagnosis, WHO melalui WHO Collaborating Center (WHO CC) di Hongkong
memerintahkannya untuk menyerahkan sampel spesimen. Mulanya,
perintah itu diikuti Fadilah. Namun, ia juga meminta laboratorium
litbangkes melakukan penelitian. Hasilnya ternyata sama. Tapi,
mengapa WHO CC meminta sampel dikirim ke Hongkong?

Fadilah merasa ada suatu yang aneh. Ia terbayang korban flu burung di
Vietnam. Sampel virus orang Vietnam yang telah meninggal itu diambil
dan dikirim ke WHO CC untuk dilakukan risk assessment, diagnosis, dan
kemudian dibuat bibit virus.

Dari bibit virus inilah dibuat vaksin. Dari sinilah, ia menemukan
fakta, pembuat vaksin itu adalah perusahaan-perusaha an besar dari
negara maju, negara kaya, yang tak terkena flu burung.

Mereka mengambilnya dari Vietnam, negara korban, kemudian menjualnya
ke seluruh dunia tanpa izin. Tanpa kompensasi. Fadilah marah. Ia
merasa kedaulatan, harga diri, hak, dan martabat negara-negara tak
mampu telah dipermainkan atas dalih Global Influenza Surveilance
Network (GISN) WHO. Badan ini sangat berkuasa dan telah menjalani
praktik selama 50 tahun. Mereka telah memerintahkan lebih dari 110
negara untuk mengirim spesimen virus flu ke GISN tanpa bisa menolak.

Virus itu menjadi milik mereka, dan mereka berhak memprosesnya
menjadi vaksin. Di saat keraguan atas WHO, Fadilah kembali menemukan
fakta bahwa para ilmuwan tidak dapat mengakses data sequencing DNA
H5N1 yang disimpan WHO CC. Data itu, uniknya, disimpan di Los Alamos
National Laboratoty di New Mexico, AS.

Di sini, dari 15 grup peneliti hanya ada empat orang dari WHO,
selebihnya tak diketahui. Los Alamos ternyata berada di bawah
Kementerian Energi AS.
Di lab inilah duhulu dirancang bom atom Hiroshima. Lalu untuk apa
data itu, untuk vaksin atau senjata kimia?

Fadilah tak membiarkan situasi ini. Ia minta WHO membuka data itu.
Data DNA virus H5N1 harus dibuka, tidak boleh hanya dikuasai kelompok
tertentu.
Ia berusaha keras. Dan, berhasil. Pada 8 Agustus 2006, WHO mengirim
data itu. Ilmuwan dunia yang selama ini gagal mendobrak ketertutupan
Los Alamos, memujinya.

Majalah The Economist menyebut peristiwa ini sebagai revolusi bagi
transparansi. Tidak berhenti di situ. Siti Fadilah terus mengejar WHO
CC agar mengembalikan 58 virus asal Indonesia, yang konon telah
ditempatkan di Bio Health Security, lembaga penelitian senjata
biologi Pentagon.

Ini jelas tak mudah. Tapi, ia terus berjuang hingga tercipta
pertukaran virus yang adil,
transparan, dan setara. Ia juga terus melawan dengan cara tidak lagi
mau mengirim spesimen virus yang diminta WHO, selama mekanisme itu
mengikuti GISN, yang imperialistik dan membahayakan dunia.

Dan, perlawanan itu tidak sia-sia. Meski Fadilah dikecam WHO dan
dianggap menghambat penelitian, namun pada akhirnya dalam sidang
Pertemuan Kesehatan Sedunia di Jenewa Mei 2007, International
Government Meeting (IGM) WHO di akhirnya menyetujui segala tuntutan
Fadilah, yaitu sharing virus disetujui dan GISN dihapuskan.




Read more...

Jumat, 02 November 2007

Surat Terbuka untuk Gubernur Foke

Sabtu, 20 Oktober 2007

Eric Penalosa, mantan Wali Kota Bogota, Kolombia, dalam sebuah seminar di Jakarta, melontarkan kritik keras soal kondisi Kota Jakarta. Menurut dia, Jakarta tak ubahnya sebuah kota yang sakit. Kondisi itu bukan karena Jakarta sedang dilanda wabah demam berdarah atau flu burung, melainkan karena Jakarta terlalu banyak dipenuhi mal dan pusat belanja. Sebaliknya, di Jakarta sangat minim tempat yang bisa dijadikan publik untuk berkumpul secara bebas (public space). Fakta ini sungguh paradoks, karena bagi mantan gubernur Sutiyoso, banyaknya mal dan pusat belanja justru diklaim sebagai sebuah prestasi yang membanggakan dalam membangun Jakarta sebagai kota supermodern. Target Sutiyoso, Jakarta harus memiliki 200 mal dan pusat belanja, sebagaimana di negeri jiran, Singapura.

Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan Sutiyoso yang berkiblat ke Singapura untuk urusan mal dan pusat belanja. Tapi seharusnya Sutiyoso tidak hanya mengadopsi sisi komersial dari negeri kecil itu. Sebab, selain marak mal dan pusat belanja, Singapura mengembangkan public space secara proporsional. Ini yang tidak diadopsi oleh Sutiyoso.


Relevan dengan situasi tersebut, Fauzi Bowo (Foke), yang baru saja dilantik menjadi orang nomor wahid di Jakarta, menetapkan menyembuhkan penyakit kronis Kota Jakarta sebagai agenda utama. Pasalnya, senapas dengan Eric Penalosa, yang sukses menjadikan Bogota sebagai kota manusiawi (human city) berkat kepemimpinan politik (political leadership) yang kuat, yaitu setelah mengantongi kemenangan 60 persen suara via pemilihan umum langsung. Dengan modal politik inilah Penalosa mendapat kepercayaan dan dukungan publik untuk membongkar ulang tata kotanya. Analog dengan Penalosa, kini modal politik itu juga dimiliki oleh Fauzi Bowo, setelah meraup suara 57,78 persen suara dalam pemilihan kepala daerah yang lalu. Artinya, sebagaimana Penalosa, Foke juga mengantongi kepercayaan publik yang cukup kuat untuk "mendaur ulang" pola manajemen tata Kota Jakarta. Foke tidak perlu gamang menganulir rencana kebijakan Sutiyoso yang tidak sejalan dengan aspirasi publik dan tata pengelolaan kota yang berkelanjutan.

Isu ini harus digelorakan karena, jika hanya mengacu pada janji Foke dalam masa kampanye yang lalu, sepertinya tidak akan ada gebrakan radikal ala Penalosa. Via iklan politik "Solusi Fauzi Bowo untuk Jakarta" (Kompas, Sabtu, 4 Agustus), Foke hanya berfokus pada tiga kasus utama. Pertama, untuk mengatasi banjir, dia akan mempercepat penyelesaian Kanal Banjir Timur serta normalisasi Kanal Banjir Barat dan kali-kali yang melintasi Jakarta. Kedua, untuk mengatasi kemacetan, dia akan mempercepat ketersediaan transportasi massal dengan kapasitas yang besar dan kualitas yang prima, antara lain busway dan subway yang mampu mengangkut 60 ribu penumpang per jam. Dan ketiga, dalam hal pendidikan, dia akan menyiapkan program prioritas untuk penuntasan wajib belajar 12 tahun, peningkatan mutu lulusan sekolah dasar/sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas/sekolah menengah kejuruan (standar internasional) serta meningkatkan kompetensi guru (standar Asia).

Jika hanya mendasarkan pada tiga program itu--sebagaimana yang tertuang dalam iklan politik, hakulyakin Foke tidak akan dikenang publik sebagai gubernur yang "menyejarah". Sekalipun busway, monorel, subway, serta percepatan pembangunan Kanal Banjir Barat/Timur sukses, warga Jakarta akan mencatat bahwa itu "karya" Sutiyoso.

Banjir dan kemacetan lalu lintas jelas merupakan "megakasus" yang harus mendapatkan prioritas tertinggi untuk segera dibereskan. Persoalannya, penyakit kronis Kota Jakarta bukan hanya itu: bukan hanya banjir dan macet an sich! Masih ada sederet penyakit kronis lain--yang secara sosio-kultural akan menjadi bom waktu yang tidak kalah mengerikan ketimbang "megabanjir" dan "megamacet". Sebagaimana Jakarta menyontek bus rapid transit ala Transmilenio Bogota, seharusnya Fauzi Bowo juga mengadopsi gerakan radikal ala Penalosa.

Apa sajakah gerakan radikal Penalosa dalam memanusiawikan Kota Bogota yang semula terkenal barbar? Salah satunya membangun tempat-tempat publik secara meluas. Di Bogota, taman-taman kota terbentang begitu luas. Dengan taman kota itu, warga kota dapat secara leluasa bercengkerama dengan keluarga dan kerabat, berolahraga, serta aktivitas lainnya. Karena itu, tidak ada jalan bagi Fauzi Bowo untuk menganulir "nafsu" Sutiyoso agar Jakarta memiliki 200 mal dan pusat belanja. Caranya?

Pertama, Fauzi Bowo harus berani me-replace dengan memperbanyak pembangunan tempat publik yang nir-komersialisme, seperti tempat bermain, taman kota, dan lapangan untuk berolahraga. Minimnya tempat-tempat publik di Jakarta mengakibatkan warga Jakarta tidak kreatif, bahkan destruktif. Tingginya angka kriminalitas di Jakarta bukan hanya dipicu oleh faktor ekonomi dan kemelaratan, melainkan lebih karena tata ruang kota yang tidak familiar bagi warga Jakarta. Terbukti, ketika Penalosa menata ulang kotanya, angka kriminalitas di Bogota turun secara dramatis, 60 persen!

Saat ini jumlah mal dan pusat belanja di Jakarta yang sudah oversupply bukan hanya berdampak terhadap persaingan yang tidak sehat antarmal, melainkan juga menjadi "mesin pembunuh" bagi eksistensi pasar tradisional dan usaha mikro lainnya. Lebih dari itu, maraknya mal dan pusat belanja juga memicu perilaku konsumtivisme warga Jakarta. Dalam konteks agama (Islam), menjadikan mal dan pusat belanja sebagai center of activity sejatinya merupakan perbuatan yang tidak dianjurkan, bahkan harus dihindari. Rasulullah SAW menegaskan bahwa pasar (baca: mal dan pusat belanja) merupakan pusat segala kemaksiatan, karena di pasarlah terjadi aksi tipu-menipu dan penindasan manusia atas manusia (exploitation de l'home par l'home).

Kedua, mengembalikan fungsi tempat-tempat publik yang sudah ada, tapi direduksi untuk kepentingan komersial dan kepentingan lain yang menyimpang. Contohnya, jalan raya dan trotoar. Kedua wahana untuk aktivitas publik ini kini berubah menjadi "pasar". Menjadikan jalan raya dan trotoar untuk kepentingan komersial, apa pun alasannya, merupakan pengambilalihan hak-hak publik secara nyata. Apalagi luas ruas jalan di Jakarta masih sangat minim, hanya berkisar 8 persen dari total luas wilayah. Bandingkan dengan Singapura, yang luas ruas jalannya mencapai 15 persen dari total luas wilayah.

Ketiga, mengembalikan area ruang terbuka hijau (RTH) yang kini telah disulap menjadi sarana komersial. RTH Jakarta yang kini tinggal 9,7 persen harus dinormalisasi menjadi minimal 27 persen dari total luas wilayah Jakarta. Luas area RTH yang memadai, selain akan menjadi sumber resapan air tanah, akan menjadi "tempat bermain" warga kota, tanpa harus dijejali dengan kepentingan komersial. Tempat-tempat komersial, yang secara telanjang melanggar prinsip-prinsip RTH, harus dihijaukan kembali.

Pada akhirnya, Fauzi Bowo tidak akan mampu menyembuhkan penyakit Kota Jakarta jika hanya berkutat pada persoalan banjir, kemacetan, dan pendidikan. Keberadaan tempat-tempat publik yang proporsional, dari dimensi apa pun--budaya, sosial, psikologi, bahkan agama--merupakan suatu keharusan. Rujuklah tesis cendekiawan muslim kawakan Ibnu Khaldun dalam bukunya, Mukaddimah, bahwa salah satu ciri kota beradab adalah adanya tempat yang luas untuk berkumpul warganya. Ayo, Bang Foke, jangan gadaikan Jakarta hanya untuk kepentingan materialisme. Lakukan terobosan radikal ala Penalosa untuk melakukan face off (operasi total wajah) Jakarta sebagai kota sakit menjadi kota manusiawi bagi warganya. Ayo, Bang Foke, Anda bisa!

Tulus Abadi, ANGGOTA PENGURUS HARIAN YAYASAN LEMBAGA KONSUMEN INDONESIA
http://www.tempointeraktif.com/

Read more...

Rp. 47,9 Triliun Untuk Memilih Presiden Baru

Indopos merilis, Anggaran yang diajukan KPU sebesar Rp 47,9 triliun atau sepuluh kali dari anggaran 2004 Rp 4,4 triliun, mendapat sinyal lampu merah dari Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk Pemilu 2009.

Bengkaknya biaya Pemilu 2009 terbesar dari anggaran untuk membayawa saksi-saksi. Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary menyatakan nilai yang kami usulkan itu sebenarnya masih di bawah UMR," jelasnya. Ketua Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), misalnya. Pada Pemilu 2004, honor mereka hanya Rp 50 ribu plus sedikit dana tambahan yang diambilkan dari APBD. Namun, dalam usul anggaran penyelenggaraan pemilu yang diajukan KPU, honor mereka naik menjadi Rp 350 ribu. Dana itu seluruhnya diambilkan dari APBN.


Faktanya, pasal 121 UU 22/2007 disebutkan, pemda bisa memberikan fasilitas dan dukungan dalam penyelenggaraan pemilu. Padahal belanja negara APBN Perubahan 2007 yang disetujui Agustus 2007 kemarin disepakati sebesar Rp 751,2 triliun, atau lebih rendah Rp 12,3 triliun dibanding APBN 2007 yang mencapai Rp 763,6 triliun. Angka perubahan belanja negara itu terdiri dari belanja pemerintah pusat Rp 497 triliun dan belanja pemerintah daerah Rp 254 triliun.

Proyek besar 5 tahunan ini memang jadi "sarana" bagi segelintir orang, padahal detik-detik saat ini kita sedang 'terganggu' dengan ancaman banjir, penanganan bencana yang tidak sistematis, masih banyak orang miskin yang hidup dibawah upah angota KPPS bahkan bisa tidak makan dalam sehari. Apakah sudah secara bijak anggaran yang diajukan dengan berbagai macam problematika bangsa ini? Ironis...

Usul : Perlu diingatkan ke KPU Pemilu bisa difasilitasi lewat Blog :)

Read more...

Nurdin Halid & Pemborosan

Bangsa Indonesia memang boros, The Fédération Internationale de Football Association (FIFA) dalam sidang Komite Asosiasi FIFA yang berlangsung di Zurich, Swiss, Senin 29 Oktober 2007, FIFA menegaskan PSSI harus "mengatur kembali" pemilihan ketua umumnya (Republika, 2 November 2007).

Berikut Hasil sidang Komite Asosiasi FIFA yang berlangsung di Zurich, Swiss 29 Oktober 2007 yang berkaitan dengan Indonesia :

· Indonesia - FIFA sent a letter to the Football Association of Indonesia (PSSI) in June 2007 indicating that the association must reorganise elections, as the electoral process that took place on 20 April 2007 - the day after the ratification of the updated statutes - was not conducted in line with the timelines stipulated in the PSSI statutes. The committee ratified this decision and also decided that in accordance with the statutes, a person who has been convicted of a crime and is currently in prison would not be eligible to stand for election.
Dirilis dari situs fifa.com


Kenapa boros? Setelah Ketua KONI, Rita Subowo membenarkan pernyataan Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga RI bahwa Nurdin Halid diminta mundur, segera memanggil jajaran PSSI untuk bertemu dengan dirinya Jum'at Siang. Tak lama Wakil Presiden RI minta Nurdin Halid berbesar hati terima putusan FIFA (Kompas, 2 November 2007).

Seharusnya, penanganan kasus seperti ini tidak perlu banyak dikomentari/ditindaklanjuti hingga Wakil Presiden. Kalaupun memang Ketua KONI -yang notabene membawahi dan mengangkat kepengurusan organisasi dibawahnya termasuk PSSI- tidak mampu mengatasi, toh Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga cukup bisa mengatasinya itupun bisa melewati para deputinya. Sehingga Menegpora & Wapres bisa mengerjakan tugas bangsa lainnya yang tidak kalah penting & mendesaknya.

Read more...

Kamis, 01 November 2007

KPPU vs STT

Singapore Tecnologies Telemedia (STT) berniat mengajukan KPPU ke pengadilan internasional, bila Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) benar-benar menjatuhkan keputusan bersalah melakukan monopoli. Jumat (2/11/2007)

Aturan jerat hukum yang digunakan KPPU pada UU No 5 tahun 1999 mengenai persaingan tidak sehat khususnya pasal 27, berujung pada tiga pilihan. Yakni, melepas kepemilikan saham dengan menjualnya, denda Rp1 miliar hingga Rp25 miliar, dan membayar kerugian kepada negara. Kalaupun dinyatakan bersalah maka STT akan menempuh jalur hukum yang ada di Indonesia, baik mulai dari pengadilan negeri hingga ke tingkat teratas bahkan hingga ke arbitrase internasional.


Mampukah bangsa ini menunjukkan konsistensinya di bidang hukum, atau kembali kalah di mediator internasional seperti kasus sipadan-ligitan? Kita berharap KPPU bekerja secara penuh bukan paruh waktu, karena mereka digaji bukan hanya untuk mengungkapkan kasus seperti ini tapi juga harus bisa mempertanggungjawabkannya.

Pada Maret 2005 Direktur Perjanjian Politik, Keamanan dan Kewilayahan Deplu Arif Havas Oegroseno mengatakan jika masalah Sipadan-Ligitan diselesaikan melalui pengadilan internasional, dia optimis Indonesia dapat memenangkannya. Namun kenyataannya... seperti yang sudah diduga.

Read more...