Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP), merupakan suatu kawasan konservasi seluas 22.000 ha terdapat di kawasan Jawa Barat, namun mempunyai dampang penting bagi kehidupan 9.558.198 penduduk di Jakarta. Mengapa? Di gunung inilah berhulu beberapa sungai besar, Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung dan DAS Cisadane. Kawasan ini pula yang mendukung stok perairan yang ada di tiga kawasan administratif, yaitu Bogor, Sukabumi dan Cianjur.
Kalau mau berterus terang, sesungguhnya masyarakat Jakarta sangat tertolong dengan mendapatkan asupan pangan dan sayuran segar dari mulai pasar induk hingga hypermarketnya, kebanyakan dari tiga kabupaten ini. Bagaimanakah jika air dan ekosistem pertanian tidak mendukung di kawasan ini? Jawabannya pasti akansangat merepotkan, harga tanaman pangan akan semakin mahal dan semuanya akan berdampak pada sector ekonomi nasional.
Faktor yang sangat penting –disamping TNGP sebagai stok sumberdaya keanekaragaman hayati– adalah peran kawasan ini sebagai stok sumberdaya air. Walaupun tidak mudah untuk menghitung secara langsung sumberdaya air yang ada di TNGP, namun peran tersebut bias dilihat secara langsung dengan menghitung berapa kapasitas air yang diperlukan oleh sawah, perladangan dan perkebunan serta perumahan penduduk yang ada di sekitar taman nasional tersebut.
Bukankah air merupaan sumber kehidupan? Bila air tidak ada, darimana sawah dan perkebunan di puncak –yang menjadi supplier mayoritas palawija dan tanaman pangan di Jakarta– bias berhasil dengan baik.
Professor Otto Soemarwoto menjelaskan, jika luas hutan berkurang, laju resapan air ke dalam tanah menurun, laju aliran air naik dan bahaya banjir semakin meningkat. Dalam hal ini bertambahnya air karena berkurangnya luas hutan sangatlah merugikan. Laju air akan bertambah jika hutan dikonservasikan menjadi bangunan fisik seperti gedung, jalan raya dan bangunan lainnya.
Sumarwoto memperkirakan laju konversi kawasan Puncak menjadi bangunan dan vila mengakibatkan peningkatan larian volume air dari 5% curah hujan menjadi 40%. Dengan curah hujan 3000 mm/th, kenaikan volume larian air adalah 10.500m3/ha/th yang setara dengan 21.000 truk tangki minyak berkapasitas 5.000 lt. Maka umpama terjadi konversi (penggundulan) vegetasi hutan 10 ha artinya sama dengan melepaskan 21.000 truk air berkapasitas 5.000 lt dari puncak.
Tidak heran, jika puluhan hektar hutan gundul di kawasan Puncak mampu menggerus ratusan rumah dalam hitungan menit seperti terjadi pada tragedi Bahorok, peristiwa bencana kawasan wisata Mojokerto, dan terakhir Wasior.
Dengan adanya tutupan hutan sebanyak 22 ribu hektar di TNGP, secara air tertampung yang disangga oleh gunung ini adalah setara dengan 46,2 juta truk air berkapasitas 5.000 lt. Bila panjang truk tanki rata-rata 10 meter, maka air yang dijajarkan bias berderet sejauh 4.620 km, atau setara dengan empat kali panjang Pulau Jawa. Bagaimana kalau air di seluruh truk itu lepas? Jakarta akan tenggelam.
Maka kawasan hutan Gunung Gede Pangrango tidak dapat disangkal mempunyai jasa besar sebagai kawasan tangkapan air (water catchment) bagi warga sekitarnya termasuk Jakarta. Kawasan ini juga dihitung merupakan jantung bagi 100 ribu hektar kawasan berupa daerah resapan air berupa sawah dan lading disekitarnya. Jantung inilah yang memompa dan mengatur “denyut nadi” sungai-sungai dan lahan basah yang berhulu di gunung itu.
Conservation International menghitung, asset yang dimiliki dengan melestarikan hutan dan Taman Nasional Gede Pangrango mempunyai nilai sekitar 920 miliar rupiah (100 juta dolar AS) per tahun untuk menghidupi sekitar 20 juta penduduk yanga da disekitarnya. Kalau tangkapan air ini musnah, akibatnya beberapa pabrik air mineral yang mengolah air bersih tidak lagi akan berproduksi dan semua penduduk akan kekeringan bila musim kemarau tiba.
Studi tentang TNGP juga dilakukan Natural Resources Management (NRM). Menurut lembaga ini, telah terjadi konversi lahan yang terus berlangsung di kawasan Puncak, baik untuk pertanian menjadi kawasan hunian atau pembangunan industru yang mengutamakan keuntungan ekonomi. Maka dampak konversi tersebut adalah erosi yang terjadi di kawasan aliran sungai. Sehinga pernah dicatat, di kawasan ini, rata-rata erosi per hektar mengakibatkan sedimentasi 24.925 ton. Perlu dicatat, air yang mengalir dari TNGP merupakan salah satu sumber aliran air sepanjang 117 km yang bermuara pada Sungai Ciliwung di Jakarta, jika erosi tersebut terus-menerus mengakibatkan pendangkalan dan mengganggu daerah aliran sungai sehingga apabila terjadi curah hujan di atas rata-rata, maka cakupan banjir akan lebih meluas.
Dampak positif keberadaan TNGP seperti tangkapan air, kontrol sedimentasi, mengurangi polusi, pengembangan wisata dan pelayanan lainnya –mengilustrasikan betapa pentingnya kawasan ini bagi masyarakat, hingga yang berada di Jakarta sekalipun. Oleh sebab itu, apa saja rencana yang dilakukan dan diperkirakan mempunyai dampak besar di kawasan puncak terutama TNGP, harus menjadi pertimbangan yang matang.
Read more...
- Professor Otto Soemarwoto, http://id.wikipedia.org/wiki/Otto_Soemarwoto
- Conservation International, http://id.wikipedia.org/wiki/Conservation_International
- TNGP, http://id.wikipedia.org/wiki/Taman_Nasional_Gunung_Gede_Pangrango
- Sungai Ciliwung, http://id.wikipedia.org/wiki/Sungai_Ciliwung
- Banjir Wasior, http://id.wikipedia.org/wiki/Banjir_Wasior_2010